Selasa, 28 April 2009


Pendidikan informal dapat menolong untuk memperbaiki kualitas SDM yang kita miliki. Itu sebabnya, sebagai orangtua, kita perlu mengamati anak-anak kita saat ini, seberapa jauh kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan apa yang ada dalam benak mereka kepada kita maupun kepada teman-teman yang lain. Selanjutnya, kita perlu memperhatikan apakah anak tersebut mampu melakukan pengamatan dengan baik atau berpikir secara logis. Seringkali, prestasi atau nilai yang bagus yang mereka peroleh di sekolah belum tentu menunjang performa mereka di luar. Sebagai contoh: anak kita memiliki nilai yang sangat bagus dalam pelajaran bahasa Inggris di sekolah, namun pada kenyataannya, ia mengalami kesulitan untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa si anak membutuhkan pendidikan informal tambahan, karena akan sangat disayangkan jika ia hanya memiliki nilai bagus dalam pelajaran di kelas namun tidak pada prakteknya. Jadi, ada baiknya kita mencari alternatif pendidikan informal yang mungkin dibutuhkan oleh anak kita.Kecerdasan Spiritual dan EmosionalOrang yang bekerja dengan mengandalkan otot seringkali memiliki tingkat stres yang jauh lebih rendah daripada orang yang bekerja dengan otaknya. Sebenarnya, masing-masing orang memiliki tingkat stres yang berbeda-beda. Memang, orang-orang yang lebih banyak mengandalkan otaknya memiliki tingkat stres yang lebih tinggi karena ada begitu banyak hal yang harus ia amati dan pikirkan dalam waktu yang sama. Satu-satunya cara untuk menanggulangi tingkat stres dalam diri seseorang adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan spiritual, sehingga ia bisa terus menjalani kehidupan sehari-hari tanpa mengalami stres. Ini juga yang menyebabkan semakin banyak orang yang tertarik untuk mengikuti yoga, meditasi, dsb., karena mereka meyakini bahwa kegiatan-kegiatan semacam itu dapat menolong mereka menghilangkan stres dan memberi ketenangan. Akan tetapi, sebetulnya itu hanyalah solusi yang bersifat sementara, karena tetap berpusatkan pada kemampuan yang kita miliki secara pribadi. Untuk mengasah kecerdasan spiritual yang kita miliki, kita hanya perlu belajar meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan. Semakin kita mengasah kecerdasan spiritual kita, semakin berkurang tingkat stres kita.Pada prinsipnya, intelegensi emosional adalah kemampuan kita untuk beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan karyawannya menunjukkan bahwa ia pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang cukup tinggi. Demikian pula seorang bawahan/karyawan yang berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan pemimpinnya adalah karyawan yang memiliki intelegensi emosional yang cukup bagus. Untuk mengasah intelegensi emosional, kita hanya perlu belajar untuk memposisikan diri dalam keberadaan orang lain, melihat dan berpikir dari sudut pandang orang lain. Hasilnya, akan jauh lebih mudah bagi kita untuk bisa beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang baik akan dicintai dan dihargai oleh karyawannya, demikian pula seorang karyawan yang memiliki emosional yang baik akan disukai oleh rekan-rekannya dan pemimpinnya.Intelegensi emosional memiliki kaitan dengan karakter seseorang. Meski begitu, kecerdasan emosional bisa dilatih dan diasah, sehingga kalaupun karakter kita tampak bertolak belakang (misalnya berangasan), kita tetap bisa memunculkan dan membentuk kecerdasan emosional itu dalam diri kita, sehingga karakter kita turut mengalami perubahan. Tapi jangan lupa bahwa intelegensi emosional juga harus didukung oleh intelegensi visual, intelegensi logis, dan intelegensi-intelegensi lainnya, atau dengan kata lain harus ada keseimbangan di antara ketujuh intelegensi tersebut. Tanpa keseimbangan, orang yang memiliki intelegensi emosional yang tinggi dapat dengan mudah dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh orang lain.Orang yang kurang mampu bergaul atau berinteraksi satu sama lain sebetulnya menunjukkan bahwa intelegensi emosional yang ia miliki perlu dikembangkan. Semakin intelegensi emosional kita terasah, semakin kita memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang baru kita temui untuk pertama kalinya.Sebenarnya, dengan mengasah satu intelegensi, secara otomatis intelegensi-intelegensi lain yang kita miliki akan turut terasah. Sebagai contoh: kita ingin mengasah intelegensi verbal yang kita miliki. Untuk dapat menyampaikan sesuatu, kita perlu mengadakan penelitian atau penggalian atas sebuah topik. Untuk memperoleh hasil yang baik, kita pasti membutuhkan intelegensi visual dan intelegensi logis yang baik pula. Semakin daya analisa kita terasah, bobot dari apa yang kita sampaikan juga semakin teruji. Selanjutnya, dengan mengasah intelegensi kreatif yang kita miliki, ada berbagai macam variasi yang bisa kita pakai dalam menyampaikan topik pembicaraan. Semakin intelegensi kita terasah, kemampuan kita dalam mengerjakan sesuatu juga bertumbuh dengan luar biasa. Satu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendisiplin diri sendiri – apa yang memang harus kita kerjakan, kerjakanlah secara tuntas dan maksimal, jangan menunda-nunda.Menurut pendapat sebagian orang, multi-tasking (mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus pada waktu yang sama) tidak cukup efektif karena hal itu menyebabkan konsentrasi menjadi terpecah. Sebenarnya hal itu tergantung dari kapasitas orang yang bersangkutan. Ada orang-orang tertentu yang dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus di waktu yang sama dan tetap memberikan hasil yang maksimal, karena mereka memang memiliki kapasitas yang cukup bagus. Sebaliknya, ada orang-orang yang meski hanya melakukan satu pekerjaan, tetap tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Jika selama ini pemimpin kita sering memberikan beberapa pekerjaan sekaligus untuk diselesaikan, sebetulnya itu adalah kesempatan yang baik untuk mengembangkan kapasitas kita, dan bukan menjadikan ketidakmampuan kita sebagai alasan untuk tetap tinggal di zona nyaman. Ingat, kita tinggal di kota di mana level persaingan yang ada sangat tinggi. Tanpa terus meng-upgrade diri, kemampuan bersaing kita akan semakin mengecil dan kita semakin tersingkir dari zona kesuksesan yang ingin dimasuki.Bagi orang-orang yang tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk kembali ke pendidikan formal ataupun informal, tetap ada cara-cara lain untuk mengasah intelegensi, yaitu dengan membaca. Membaca adalah salah satu solusi terbaik bagi mereka yang ingin mengasah intelegensi. Saat ini ada begitu banyak buku yang secara spesifik dapat menolong kita mengasah dan meningkatkan intelegensi-intelegensi tertentu dalam diri kita. Ada langkah-langkah sistematis maupun strategis yang bisa kita aplikasikan dari buku-buku tersebut. Karenanya, saya mendorong Anda untuk banyak membaca, karena ada banyak keuntungan yang akan Anda nikmati dari membaca.Jangan pernah menutup diri bagi sebuah perubahan dan jangan pernah membatasi diri untuk mempelajari hal-hal baru. Ketika kita mau mempelajari hal-hal yang baru dan terus mengalami perubahan, artinya kita sedang terus mendekati titik keberhasilan yang kita impi-impikan.

Jakarta, Senin (24 Maret 2008)–
Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.
Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. “Standar ini akan menjadi acuan kita, bukan standar yang maksimal tapi yang minimal,” katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .
Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD.
Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untuk menghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. “Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini,” ujarnya.
Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. “Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia,” katanya.
Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. “Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia,” katanya.
Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.
Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. “Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal.”***
Sumber
:http://72.14.235.132/search?q=cache:A3Ge5eQBAnoJ:www.penapendidikan.com/standar-pendidikan-anak-usia-dini-nonformal/+artikel+pendidikan+non+formal&cd=10&hl=id&ct=clnk&gl=id

Oleh: Sudirman Siahaan
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Perumusan yang demikian ini tampaknya menjadi keyakinan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (the founding fathers) bahwa melalui pendidikanlah bangsa Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang cerdas. Bangsa yang cerdas diyakini akan menghasilkan bangsa yang mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi “Education for All”. Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga sebagai wujud keseriusan Indonesia mensukseskannya, maka Indonesia telah mencanangkan Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun 1984 dan 10 berikutnya, yaitu pada tahun 1994, Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun. Melalui Wajib Belajar 6 Tahun diharapkan anak-anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan SD. Demikian juga halnya melalui pencanangan Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan anak-anak usia SMP (13-15 tahun) dapat menyelesaikan pendidikan SMP.Berbagai program yang diarahkan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan Wajib Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun telah dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Berkaitan dengan hal ini, satu hal yang menjadi keprihatinan di berbagai negara adalah mengenai anak-anak yang karena satu dan lain hal terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SD sehingga mereka ini menjadi warga negara yang buta aksara. Demikian juga dengan anak-anak yang terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SMP, maka mereka akan cenderung masuk ke dalam kelompok tenaga kerja kasar.Hakekat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga negara dapat memenuhi haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib Belajar 9 Tahun). Untuk dapat mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga negara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing.Sebagai unit organisasi sosial terkecil, orang tua dari setiap keluarga tergugah dan terpanggil untuk setidak-tidaknya membimbing dan membelajarkan anak-anaknya, baik melalui pendidikan formal persekolahan, lembaga pendidikan non-formal, maupun melalui lembaga pendidikan informal. Mengirimkan anak untuk belajar melalui lembaga pendidikan sekolah sudah jelas yaitu mulai dari taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan pendidikan tinggi. Apabila karena satu dan lain hal, seorang anak tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan persekolahan, maka orang tua dapat mengirimkan anaknya untuk mengikuti kegiatan pembelajaran pada pendidikan non-formal, seperti Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Seandainya seorang anak tidak memungkinkan juga mengikuti pendidikan melalui pendidikan formal dan non-formal, maka masih ada model pendidikan alternatif yang dapat ditempuh, yaitu “Sekolah di Rumah” (Home Schooling). Dalam kaitan ini, orang tua dapat mengidentifikasi lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan atau unit-unit pendidikan prakarsa anggota masyarakat yang menyelengggarakan “Sekolah di Rumah” dan kemudian mengirimkan anaknya untuk mengikuti pendidikan di lembaga atau unit pendidikan tersebut. Atau, orang tua sendiri dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, dapat membimbing dan membelajarkan anak-anaknya sehingga pada akhirnya sang anak dapat mengikuti ujian persamaan (Upers), baik pada satuan pendidikan SD, SMP atau SMA.Pada satuan lembaga, baik yang sepenuhnya bernafaskan pendidikan maupun yang tidak, hendaknya memiliki komitmen yang sama yaitu untuk membelajarkan anak-anak dari orang tua yang bekerja pada masing-masing lembaga. Bentuk komitmen dari lembaga tidak harus dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan tetapi dapat saja dalam bentuk beasiswa. Bagi lembaga industri atau perusahaan, bentuk komitmennya dapat saja dalam bentuk pemberian beasiswa atau berfungsi sebagai orang tua asuh setidak-tidaknya bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja di industri atau perusahaan.Apabila semua komponen bangsa bergerak serempak bagaikan sebuah orkestra, masing-masing komponen bangsa memberikan yang terbaik yang ada padanya demi pencerdasan kehidupan bangsa, maka tidak akan diragukan lagi bahwa orkestra akan menghasilkan/ memberikan lagu yang terbaik (the best). Analoginya di bidang pendidikan, bahwa melalui gerakan masyarakat, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri menerapkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka penuntasan wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun akan dapat lebih cepat tercapai. Seiring dengan rencana alokasi anggaran untuk sektor pendidikan pada APBN Tahun 2009 sebesar 20%, tentunya diharapkan akan dapat lebih mempercepat penuntasan Wajib Belajar 6 dan 9 Tahun serta terbuka kemungkinan untuk mempersiapkan pencanangan Wajib Belajar 12 Tahun. Dengan menjadikan pendidikan sebagai gerakan masyarakat dan ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta komitmen untuk mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka dalam beberapa tahun ke depan diharapkan hasil atau dampaknya dalam bentuk keunggulan kompetetif akan dirasakan secara nasional dan juga diapresiasi secara regional/internasional.
Sumber:http://72.14.235.132/search?q=cache:DnmzQuptUGQJ:www.e-dukasi.net/artikel/index.php%3Fid%3D98+artikel+pendidikan+non+formal&cd=30&hl=id&ct=clnk&gl=id

Pendidikan Nonformal yang merupakan pelengkap dan pengganti pendidikan formal telah banyak memberikan solusi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut pendidikan maupun lainnya.Pada program Pendidikan Keaksaraan Fungsional telah banyak dilakukan pemberantasan buta aksara bagi masyarakat yang buta aksara yang dipadukan dengan pendidikan keterampilan yang dapat digunakan untuk menambah penghasilan serta diadakannya Taman Bacaan Masyarakat (TBM) agar tidak buta aksara kembali.Program Pendidikan Kesetaraan telah banyak membantu peserta didik yang putus SD, SMP, SMA dan yang kurang beruntung dalam hal pendidikannnya serta mereka yang tidak lulus Ujian Nasional dalam menyelesaikan pendidikannya pada setiap jenjang.Program Life Skills telah banyak membantu mayarakat miskin dalam upaya meningkatkan penghasilan dan mengurangi pengangguran.Hasil tersebut merupakan hasil kerjasama antara pemerintah dan masyarakat melalui satuan pendidikan Kelompok Belajar, Kursus dan Pelatihan, PKBM, serta Organisasi Mitra Pendidikan Nonformal lainnya.Organisasi Mitra PNF tersebut : HIPKI, HISPPI, Tiara Kusuma, Harpi Melati, IPBI Kartini, Pancawati, Ikaboga, Ikatan Perangkai Bunga, Ikatan SPA, Himpri, Forum Penilik/Tutor/TLD, Pelangi, Katalya serta lainnya bahu membahu dalam memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada masyarakat.Pimpinan organisasi mitra PNF telah sepakat untuk menjadikan Ibu Hj. Sri Hartati Fauzi Bowo sebagai pembinanya, dengan harapan pelayanan pendidikan nonformal di DKI Jakarta lebih meningkat kualitas dan kuantitasnya.Hidup Pendidikan Nonformal/Pendidikan Luar Sekolah di Provinsi DKI Jakarta.
Sumber:http://72.14.235.132/search?q=cache:V24SufoAG_YJ:www.bangfauzy.com/artikel.php%3Fid%3D218%26option%3Dview+artikel+pendidikan+non+formal&cd=12&hl=id&ct=clnk&gl=id

Gemerlap Surabaya sebagai kota metropolitan beserta aneka fasilitasnya ternyata tidak menjamin akses pendidikan merata. Indikasinya, jumlah anak putus sekolah di Kota Pahlawan ini masih cukup tinggi. Yang ironis, kondisi itu terjadi di hampir seluruh jenjang pendidikan.Angka terbanyak usia putus sekolah berada pada umur 7-12 tahun atau usia siswa SD. Yang berikutnya, usia 16-18 tahun atau tingkat SMA. Jumlah anak putus sekolah paling sedikit berada di kisaran usia 13-15 tahun atau jenjang SMP.Melihat kondisi tersebut, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono menginstruksi Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya untuk memprioritaskan pengentasan anak putus sekolah tersebut. Dispendik pun meminta unit pelaksana teknis dinas (UPTD) mereka di kecamatan untuk jemput bola dan pengurus RT/RW untuk menangani anak putus sekolah.Demi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun, pemkot memilih menyekolahkan kembali anak putus sekolah di jenjang SD dan SMP. Itu terlihat dari alokasi anggaran Dispendik Rp 37,6 miliar untuk program tersebut, sebanyak Rp 33,8 miliar untuk pengentasan anak putus sekolah jenjang SMP, sedangkan sisanya untuk jenjang SD. Saat ini, mereka sedang didata untuk selanjutnya dimasukkan ke sekolah-sekolah negeri. Lalu, yang telah bekerja akan diikutkan program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A (7-12 tahun) dan B (13-15 tahun). (Metropolis, 21/7/2008).Sejak 1990-an, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga menyediakan pendidikan alternatif untuk mereka yang kurang beruntung tersebut. Namanya, pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan itu ditujukan untuk menunjang penuntasan wajar dikdas sembilan tahun serta memperluas akses pendidikan menengah yang menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional.Pendidikan kesetaraan menjadi salah satu program pada jalur pendidikan nonformal yang mengadakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA melalui program Paket A, Paket B, dan Paket C. Di lapangan, program tersebut sering mengombinasikan pendidikan aksara dan pembekalan keterampilan. Untuk Paket A, pesertanya dibekali keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Paket B bertujuan memberikan bekal keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja.Adapun keterampilan untuk berwiraswasta diberikan untuk peserta program Paket C. Pendidikan kesetaraan itu bisa diselenggarakan oleh semua satuan pendidikan nonformal. Misalnya, lembaga pelatihan, kursus, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), majelis taklim, dan lain-lain.Dalam dua tahun terakhir, pendidikan kesetaraan naik daun. Itu seiring kebijakan Depdiknas yang memberikan kesempatan kepada siswa SD hingga SMA sederajat yang tidak lulus ujian nasional (unas) untuk mengikuti UNPK yang diadakan dua kali dalam setahun. Dengan mengikuti UNPK Paket A, B, dan C, mereka dapat memiliki ijazah setara sekolah formal SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang bisa digunakan untuk mendaftar di sekolah formal dan perguruan tinggi serta mencari pekerjaan. Pendidikan kesetaraan pun tak lagi dianggap kelas dua.Status lulusan pendidikan kesetaraan memang telah dijamin sama dengan lulusan pendidikan formal. Surat Edaran (SE) Mendiknas No 107/MPN/MS/2006 tentang Program Kesetaraan menjadi garansinya. Dalam SE tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang lulus ujian kesetaraan Paket A, Paket B, atau Paket C memiliki hak eligibilitas yang sama dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi.Garansi dari Mendiknas itu terbukti manjur. Di Jawa Timur, cukup banyak lulusan pendidikan kesetaraan Paket C yang mulus melanjutkan studinya ke perguruan tinggi negeri maupun swasta. Bahkan, di Surabaya, ada seorang lulusan Paket C yang diterima bekerja dan memegang jabatan penting sekelas manajer operasional di sebuah minimarket.Bisa dibayangkan seperti apa nasib mereka yang tak mampu mengakses pendidikan formal jika tidak ada pendidikan kesetaraan. Mereka akan terpuruk selamanya dalam kebodohan dan keterbelakangan. Pendidikan kesetaraan telah menjadi lentera dalam kegelapan bagi mereka. Jadi, putus sekolah bukan kiamat.
sumber: http://www.info-edukasi.com/portal/umum/putus_sekolah_bukan_kiamat.php

Ada pemikiran sebagian orang yang mengatakan bahwa pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran akan semakin memperluas atau memperlebar kesenjangan (gap) antara sekolah-sekolah yang ada di daerah perkotaan dengan yang ada di daerah pedesaan terlebih-lebih lagi dengan sekolah-sekolah yang terdapat di daerah terpencil atau sulit komunikasinya. Yang pada umumnya siap menerima dan memanfaatkan teknologi hanyalah sekolah-sekolah yang terdapat di daerah perkotaan. Kesan sepintas memang kita dapat menerima pemikiran tersebut namun manakala ditelaah secara lebih cermat lagi, maka pemikiran tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Mengapa dikatakan demikian?Pemanfaatan teknologi dimungkinkan diterapkan di berbagai sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil atau daerah yang secara geografis sulit dijangkau. Dampak yang dihasilkan bahkan justru berhasil memperluas kesempatan belajar bagi lebih banyak anak yang membutuhkan tetapi terkendala secara geografis dan finansial. Dengan kata lain, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan sulit juga mempunyai kesiapan untuk memanfaatkan teknologi. Keadaan yang demikian ini merupakan bukti bahwa pemanfaatan teknologi telah memberikan dampak positif dalam arti semakin mempersempit kesenjangan yang terjadi atau semakin memperluas kesempatan memperoleh layanan belajar.Sebagai contoh dari penerapan teknologi di berbagai sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil atau daerah yang secara geografis sulit dijangkau adalah pemanfaatan radio komunikasi 2 arah. Pada umumnya, keberadaan Sekolah Menengah tingkat Pertama (SMP) untuk wilayah di luar pulau Jawa hanya terbatas sampai pada tingkat Kecamatan. Di sisi lain, keberadaan Sekolah Dasar (SD) sampai ke tingkat desa. Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah: “Bagaimana dengan anak-anak pedesaan yang telah menyelesaikan pendidikan SD di daerah tempat tinggalnya yang terkendala secara geografis?”.Mereka adalah warga negara yang berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Terlebih lagi apabila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar Pendidikan 9 Tahun.Konsekuensi bagi anak-anak yang berada di daerah terpencil atau kondisi geografisnya sulit dengan latar belakang sosial ekonomi orangtua yang kurang menguntungkan adalah tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikannya ke SMP reguler yang pada umumnya terdapat di ibukota Kecamatan. Di sisi lain, hanyalah para orangtua dengan latar belakang sosial ekonomi yang relatif menguntungkan yang berpeluang untuk dapat menyekolahkan anaknya ke satuan pendidikan SMP yang terdapat di ibukota Kecamatan. Oleh karena itu, yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar anak-anak yang “kurang beruntung” yang berada di daerah-daerah terpencil atau daerah yang secara geografis sulit dijangkau ini tetap dapat melanjutkan pendidikannya ke SMP.Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom)-Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan model pendidikan SMP Terbuka yang sebagian besar kegiatan pembelajarannya dilaksanakan secara mandiri. Untuk memfasilitasi anak-anak yang secara sosial ekonomis dan geografis “kurang menguntungkan” melanjutkan pendidikannya ke SMP, Pustekkom memperkenalkan pemanfaatkan teknologi radio komunikasi 2 arah. Peserta didik lulusan SD yang tersebar di berbagai desa yang tidak memungkinkan mereka datang secara teratur ke SMP reguler yang terdapat di ibukota Kecamatan dipilih sebagai lokasi percontohan.Peralatan utama radio komunikasi 2 arah yang dapat menghubungkan desa-desa yang ada di satu Kecamatan (di mana peserta didik lulusan SD dapat berkumpul) dipasang di SMP Negeri; sedangkan desa-desa yang menjadi tempat anak-anak lulusan SD berkumpul (misalnya: Balai Desa, gedung SD, atau rumah Kepala Desa) dilengkapi dengan fasilitas radio komunikasi yang lebih sederhana. Melalui perangkat peralatan yang telah ditempatkan, maka komunikasi dapat diselenggarakan antara guru-guru mata pelajaran yang ada di SMP dengan para peserta didik yang tersebar di berbagai desa. Bagaimana dengan SMP Negeri yang berperanserta tetapi belum dilengkapi dengan sumber tenaga listrik?Untuk dapat memanfaatkan peralatan radio komunikasi 2 arah, Pustekkom melengkapi SMP Negeri yang ditunjuk (yang berfungsi sebagai sekolah induk bagi peserta didik SMP Terbuka) dengan sarana pembangkit tenaga listrik yang berupa genset. Sedangkan sumber tenaga listrik untuk masing-masing tempat berkumpulnya peserta didik di berbagai desa dilengkapi dengan aki sepeda motor. Melalui pemanfaatan kedua jenis sumber tenaga listrik ini telah memungkinkan dioperasikannya fasilitas radio komunikasi 2 arah untuk kepentingan kegiatan pembelajaran.Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan fasilitas radio komunikasi, maka Pustekkom melakukan pelatihan bagi para guru SMP Negeri mengenai cara-cara penggunaan peralatan radio komunikasi 2 arah. Selain itu, Pustekkom juga melakukan pelatihan bagi para teknisi yang akan merawat peralatan radio komunikasi 2 arah. Fokus pelatihan untuk calon teknisi adalah mengenai cara-cara pengoperasian, pemeliharaan, dan perawatan peralatan. Kemudian, para tutor di masing-masing desa dilatih Pustekkom tentang cara-cara pengoperasian, pemeliharaan, dan perawatan peralatan radio komunikasi 2 arah yang disediakan.Bahan-bahan belajar yang menjadi sumber belajar bagi masing-masing peserta didik dirancang secara khusus oleh Pustekkom (printed self-learning materials) sehingga dapat dipelajari oleh masing-masing peserta didik secara mandiri. Peserta didik dapat mempelajari bahan-bahan belajar mandiri tercetak ini (modul) secara individual maupun dalam kelompok kecil. Tugas tutor antara lain adalah yang berkaitan dengan aspek pengelolaan kegiatan pembelajaran peserta didik, pembagian bahan-bahan belajar, penyelenggaraan tes, pembimbingan peserta didik agar belajar tertib, pembimbingan peserta didik untuk berdiskusi, dan pembimbingan peserta didik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran melalui radio komunikasi 2 arah.Operasionalisasi pemanfaatan radio komunikasi 2 arah untuk kegiatan pembelajaran bagi peserta didik SMP Terbuka dapat diuraikan sebagai berikut.Pertama, pimpinan SMP di ibukota Kecamatan membuat jadwal pemanfaatan radio komunikasi 2 arah secara tertulis. Kemudian, jadwal tertulis ini (mencakup hari, tanggal, jam, dan mata pelajaran yang dibahas) dibagikan ke semua desa yang menjadi tempat peserta didik berkelompok (jumlah kelompok belajar berkisar antara 3-5 kelompok belajar) dan kepada semua guru mata pelajaran.Kedua, dengan berpedoman pada jadwal pemanfaatan radio komunikasi 2 arah yang telah disusun, guru mata pelajaran menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan semua peserta didik yang tergabung ke dalam kelompok-kelompok belajar di setiap desa. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, peserta didik di masing-masing kelompok belajar yang didampingi oleh tutor.Ketiga, pada hari dan jam yang sama, semua fasilitas radio komunikasi 2 arah yang terdapat di SMP Negeri yang telah ditunjuk dan di desa-desa tempat peserta didik berkelompok dihidupkan. Guru mata pelajaran memulai kegiatan pembelajaran dengan cara menghubungi masing-masing tutor yang bertanggungjawab terhadap fasilitas radio komunikasi. Manakala semua fasilitas sudah dalam keadaan operasional dan peserta didik juga sudah siap, maka barulah guru mata pelajaran memulai kegiatan pembelajaran.Keempat, disela-sela kegiatan pembelajaran, guru dapat meminta peserta didik mengajukan atau menjawab pertanyaan, melakukan diskusi, atau mengerjakan tugas.Kelima, guru memberikan rangkuman atau tugas lanjutan apabila tidak ada lagi pertanyaan atau masalah yang diajukan oleh peserta didik. Pemberian tes atau ulangan kepada peserta didik dapat dilakukan oleh tutor karena bahan-bahannya sudah diberikan terlebih dahulu kepada tutor.SMP Terbuka yang dilengkapi dengan fasilitas radio komunikasi 2 memungkinkan menjangkau para peserta didik lulusan SD/MI yang berada di daerah-daerah yang sulit geografisnya. Peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran di SMP Terbuka menggunakan sebagian besar waktu belajarnya secara mandiri. Kegiatan pembelajaran di SMP Terbuka yang ditunjang dengan pemanfaatan teknologi radio komunikasi 2 arah memungkinkan peserta didik lulusan SD/MI yang berada di daerah-daerah yang sulit geografisnya dapat mengikuti kegiatan pendidikan SMP.Sumber :http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=80

Rabu, 22 April 2009

Hanya Lima PTN yang Raih Akreditasi A
Submitted by admin on Thu, 12/04/2008 - 16:24
Tanpa Akreditasi, Tidak Boleh Luluskan Mahasiswa
Kamis, 4 Desember 2008 00:57 WIBBandung, Kompas - Kesiapan perguruan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutunya dinilai masih sangat minim. Dari 55 perguruan tinggi yang mengikuti akreditasi institusi tahap I, hanya lima di antaranya yang telah meraih nilai sangat baik atau A.Kelima perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Adil Basuki Ahza, Rabu (3/12), di Bandung, tidak ada kaitan perolehan nilai A ini dengan reputasi internasional yang kebetulan dimiliki kelima perguruan tinggi negeri (PTN) ini.”Tidak berkaitan dengan status kelas dunia. Tapi, secara faktual, kita tidak bisa membohongi diri kalau kelima perguruan tinggi ini punya kualitas lebih,” ungkap Basuki Ahza.Ia melihat, ketidaksanggupan perguruan tinggi lain meraih nilai A lebih karena faktor ketidaksiapan diri. Serta, belum membangun sistem penjaminan mutu yang memadai.Belum berani dinilaiTahun 2008 ini, bahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum berani dinilai. Dari kuota 50 perguruan tinggi yang dinilai, hanya 30 di antaranya yang terisi. Dan, hanya 25 yang lolos untuk dilakukan site visit (visitasi asesor). Visitasi dilakukan Desember ini. Untuk itu, Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) berancang- ancang menghentikan sementara proses akreditasi ini di tahun depan.Padahal, ia mengatakan, setiap program studi maupun perguruan tinggi negeri wajib untuk mengikuti akreditasi. ”Mereka (perguruan tinggi) lupa bahwa perguruan tinggi bisa kena pidana jika tidak segera memiliki akreditasi. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika perguruan tinggi tidak terakreditasi, maka perguruan tinggi tersebut tidak boleh meluluskan mahasiswa,” ujarnya.Menurutnya, ketentuan ini akan efektif berlaku selambat- lambatnya tahun 2012 mendatang.Di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, ucapnya, bahkan disebutkan, hanya perguruan tinggi berakreditasi minimal B yang bisa meluluskan mahasiswa.”Lulusan bisa menuntut penyelenggara program studi, dekan, atau rektor apabila klaim tentang akreditasi tidak betul dan mereka tidak bisa lulus,” kata Basuki Ahza.Meski demikian, perguruan tinggi diperbolehkan mengajukan ulang penilaian setelah dua tahun pengajuan pertama, asalkan ada jaminan perbaikan.Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Sunaryo Kartadinata mengakui, hasil akreditasi institusi sangatlah bergantung faktor kesiapan tiap perguruan tinggi. Namun, ia melihat, akreditasi institusi ini tidak lebih penting daripada akreditasi yang ada di tiap-tiap program studi. Sebab, ujung tombak akademik justru ada di program studi.UPI saat ini memperoleh akreditasi B meski kampus ini sekarang memiliki aset gedung mewah bernilai sekitar Rp 500 miliar.
TANTANGAN-TANTANGAN KARIR MAHASISWA
Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi tantangan-tantangan karir yang dihadapi mahasiswa serta merekomendasikan bagaimana tantangan tersebut bisa diatasi. Pembahasan akan difokuskan pada tiga aspek yaitu: (1) ketidakpastian karir, (2) pengaksesan informasi dan program pengembangan karir, (3) tantangan-tantangan ekonomi dan teknologi.Dua dekade yang lalu, keadaan politik, sosial, ekonomi dan teknologi dunia lebih stabil dan mahasiswa yang memasuki dunia kerja menikmati keuntungan (karir) yang begitu stabil. Namun, sejak saat itu dunia sudah mengalami perubahan yang drastik, termasuk globalisasi, kemajuan dalam sains dan teknologi serta restrukturisasi organisasi. Di Indonesia, kita juga mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam bidang sains dan teknologi seperti dibidang komunikasi yang sudah diperkenalkan oleh perusahaan-perusahaan di negara ini. Di samping itu, dengan persaingan yang meningkat, produk-produk baru dan jasa juga sering diperkenalkan di dalam pasaran.Dengan perubahan-perubahan ini, kesempatan baru telah muncul seperti integrasi regional. Ia tidak hanya dalam pergerakan tenaga kerja tetapi juga barang-barang dan jasa. Hal ini telah membawa kepada permintaan yang lebih jauh terhadap karir-karir baru dalam bidang teknologi, sosial, dan sains.Oleh sebab itu, untuk memenuhi permintaan perubahan ini, institusi-institusi pendidikan harus mampu mengeluarkan produksi sumber daya manusia yang memiliki karakter dan kualitas dalam bidang-bidang tersebut. Intitusi-institusi pendidikan juga harus membuat perubahan dalam menawarkan program-program mereka. Jadi, tantangan-tantangan karir yang dihadapi para pelajar meliputi ketidak pastian karir, pengaksesan informasi dan program pengembangan karir dan tantangan sosial-budaya.Ketidakpastian karir Banyak mahasiswa yang tidak mengetahui dengan pasti tentang pemilihan karir mereka. Lingkungan luar yang berubah terlalu cepat memaksa mereka untuk memodifikasi keputusan mereka dari waktu ke waktu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketidakpastian dalam pemilihan karir sangat umum terjadi di kalangan pelajar institusi perguruan tinggi.Para mahasiswa di Indonesia juga mempunyai tantangan dalam menentukan karir-karir mereka. Hal ini sepertinya disebabkan oleh kurangnya pengenalan terhadap metode-metode bimbingan dan penilaian karir sewaktu dibangku sekolah. Padahal, pengenalan ini akan membantu para pelajar untuk memilih dan menentukan minat, nilai dan kemampuan mereka serta mengintegrasikan aspek-aspek tersebut dalam bidang karir utama mereka. Dalam waktu yang sama, mereka tidak membuang waktu untuk mencari karir dalam bidang yang lain. Juga, masih banyak para mahasiswa yang belum diperkenalkan dengan karir-karir yang sifatnya non-tradisionil.Oleh sebab itu, dalam membuat pilihan untuk melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi, para pelajar tidak tahu bidang apa yang secara realitasnya harus diambil. Mereka membuat pilihan semata-mata berdasarkan minat atau berdasarkan kualifikasi yang ada saja. Begitu mendapat banyak pengenalan dan masukan, mereka akan membuat perubahan pilihan. Sudah tentu, hal ini akan memberikan impak kepada program studi mereka yakni akan memperpanjang waktu dalam menyelesaikan studi.Program-program dan penggunaan alat-alat penilaian untuk karir telah banyak diperkenalkan oleh pusat-pusat pelayanan, penempatan dan karir di seluruh dunia seperti Myers Briggs, System for Interactive Guidance and Information (SIGI) 3 dan Discover. Melalui alat-alat ini para pembimbing (counsellors) akan membantu para pelajar yang tidak mengetahui tujuan karir mereka untuk membuat penilaian secara saintifik terhadap diri mereka sendiri berdasarkan minat, nilai-nalai (values) dan kemampuan-kemampuan mereka.Pusat-pusat karir seharusnya mempunyai unit yang memberikan pelayanan yang mefokuskan pada informasi umum tentang karir dan menghubungkan informasi tersebut dengan jurusan-jurusan mereka. Mereka juga harus menyediakan sumber-sumber bacaan tentang berbagai karir dan informasi tentang pasaran tenaga kerja. Pusat-pusat ini juga harus mempunyai literatur tentang apa yang mereka tawarkan untuk mengundang para pelajar menggunakan jasa mereka. Di samping itu, mereka juga harus memfokuskan pada pengembangan program-program yang sifatnya pelatihan pengalaman dan ketenagakerjaan untuk membantu para pelajar membuat keputusan karir seperti yang diinformasikan.Sementara itu, para pembina karir harus bekerjasama dengan institusi-institusi penyedia (contohnya perguruan tinggi) dengan memberikan bantuan bimbingan dan pembinaan untuk mengembangkan program-program karir. Ini akan membantu para pelajar dalam memilih tawaran program studi dan karir mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan mengadakan kunjungan-kunjungan ke instuitusi pendidikan ataupun mengadakan pelatihan dan seminar.Program pengembangan karir di kampusSudah banyak institusi perguruan tinggi di Indonesia yang mempunyai pusat pelayanan karir, namun masih banyak juga yang tidak lengkap. Akibatnya, mereka tidak menyediakan unit-unit yang membantu para pelajar mendapatkan keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan akademik mereka untuk bersaing dengan sukses mendapatkan pekerjaan dan pelayanan di abad yang dinamik ini.Banyak pusat-pusat tersebut yang hanya lebih memfokuskan pada penempatan kerja dan kurang memperhatikan komponen-komponen penting dalam aspek pengembangan karir (contohnya program-program dan bimbingan karir yang berfokus pada persiapan untuk ke dunia pekerjaan). Di pusat-pusat karir selalunya ada kebutuhan terhadap Pembina/pembimbing yang berkaliber di bidang pengembangan karir guna menyediakan pelayanan yang bertaraf dunia.Akses terhadap program-program pengembangan karir seperti leadership dan mentorship juga terbatas. Para pengelola perguruan tinggi bisa menilai sendiri apakah pusat-pusat ini sudah dimaksimalkan demi kepentingan institusi mereka dan para pelajarnya. Selain pertumbuhan dalam program-program seperti ini, terdapat kebutuhan untuk ekspansi dan pengenalan yang berkelanjutan terhadap program yang baru.Pembangunan dan perkembangan mahasiswa secara luas harus didukung dan dilaksanakan sebab ia merupakan satu proses dan satu unit yang holistik guna mencapai tujuan yang diharapkan. Perkembangan dan pembangunan mahasiswa harus meliputi sejumlah keterampilan, pengetahuan, kompetensi, kepercayaan dan sikap yang harus ditanamkan ketika mereka di perguruan tinggi. Ini semua termasuk:. Keterampilan kognitif yang kompleks seperti refleksi dan pemikiran kritis.. Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan terhadap masalah-masalah praktis yang dihadapi (contohnya ketika liburan, di dalam keluarga atau aspek-aspek kedupan yang lain).. Pemahaman dan apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kemanusiaan.. Perasaan yang menyeluruh terhadap identitas, kepercayaan dan kemampuan diri, integritas, keyakinan dan tanggungjawab sipil (Journal of College Student Development. Vol 46 #5 Sept-Oct 2005 Pp 559; 560).. Kompetensi praktis seperti membuat keputusuan, pemecahan masalah dam kerjasama tim.Komunikasi dan akses terhadap informasi karir Mengakses informasi karir biasanya bukanlah minat dari kebanyakan pelajar, kecuali ketika mereka masuk perguruan tinggi (itupun ketika mereka tidak tahu objektif karir mereka) dan ketika mereka akan lulus (itupun jika mereka butuh kerja). Pengembangan karir memerlukan pendekatan yang terencana dan seharusnya para pelajar memanfaatkan pusat pelayanan tersebut sepanjang mereka di kampus. Sayangnya, banyak mahasiswa yang sudah lulus mengatakan mereka jarang atau bahkan tidak pernah memanfaatkan pusat pelayanan tersebut. Ada juga yang melihat iklan tentang program yang ditawarkan, membaca brosur, tetapi tidak memanfaatkan pusat layanan tersebut. Kurangnya akses informasi karir bisa menhambat para pelajar dari membuat perencanaan laluan karir atau membuat keputusan karir seperti yang diinformasikan.Sejalan dengan meningkatnya populasi kampus secara internasional, penggunaan internet/intranet merupakan alat yang bagus untuk berkomunikasi dengan para pelajar. Pusat-pusat karir seharusnya mempunyai website sendiri. Para pelajar harus dianjurkan dan didorong untuk menggunakan dan memanfaatkan teknologi.Pusat-pusat karir harus menggunakan berbagai cara untuk berkomunikasi dengan para pelajar seperti penggunaan poster, brosur, stasiun radio kampus, bulletin, rekan Pembina/pembimbing, atau anggota fakultas yang lain.Komunikasi dengan majikan (employers) yang prospektif juga bisa dilakukan dengan menggunakan program "Job Link" yang dibuat secara khusus. Ini akan memudahkan para pelajar, staf dan para majikan untuk mengakses informasi. Kalau sebuah kampus memiliki asrama mahasiswa, kerjasama dengan pengurus dan pengelola asrama harus dibuat untuk membantu mengakses semua populasi pelajar.Tantangan-tantangan ekonomi dan teknologiPersaingan untuk mendapatkan pekerjaaan adalah sangat tinggi di Indonesia. Kompetisi ini menjadi lebih sengit dengan kemunculan Internet yang bisa membuat pengrekrutan secara online dan global. Para majikan mengharapkan dan memerlukan lulusan baru yang mempunyai pengalaman kerja dan berbagai keterampilan serta fleksibel. Oleh sebab itu, para pelajar harus dipersiapkan untuk mengkreasikan pekerjaan mereka sendiri bahkan kalaupun mereka sedang dalam usaha memenuhi permintaan majikan yang prospektif. Para pelajar juga perlu mengembangkan keterampilan dan kompetensi demi kelangsungan hidup di dunia pekerjaan, serta perlu mengembangkan apresiasi untuk pembelajaran yang berkesinambungan.Sementara itu, situasi ekonomi telah memaksa para individu menunda program pelatihan di tingkat perguruan tinggi dan memasuki tempat kerja pada level yang rendah. Ada juga yang terpaksa berhenti kuliah sementara karena sedang berusaha untuk mendapatkan dana. Dalam situasi yang lain, di negara sendiri, ada juga harus memilih pilihan kedua karena pilihan yang pertama sudah tidak ada tempat sedangkan untuk keluar negara biayanya terlalu mahal.Dalam menaggapi tantangan-tantangan ini, para spesialis karir harus memastikan bahwa para pelajar telah dilengkapi supaya dapat bertahan hidup dalam pasaran kerja yang kompetitif. Program-program seperti pekerjaan sambilan (part-time), pekerjaan musiman serta pelatihan di dalam instansi-instansi tertentu (internship) akan mmberikan para pelajar pengetahuan tentang dunia pekerjaan serta akan meningkatkan keyakinan diri mereka.Dunia seminar pekerjaan juga akan membantu para pelajar mendapat keterampilan-keterampilan dan kompetensi tambahan yang diperlukan untuk melengkapi pencapaian akademik mereka. Sementara itu, mereka juga akan mengetahui tentang apa yang diharapkan oleh para majikan. Para pelajar juga harus dibimbing tentang cara-cara yang sukses dalam merencanakan dan mengorganisasikan pencarian pekerjaan, bagaimana untuk menerima pekerjaan, bagaimana untuk menolaknya dan bagaimana untuk menjaga keyakinan diri.Tantangan-tantangan sosial budayaTantangan-tantangan sosial budaya yang memberikan impak kepada para pelajar termasuk mengejar karir yang disuruh oleh orang tua, tanpa memikirkan keinginan pelajar atau faktor-faktor kelemahan dan kekuatan mereka. Ada juga yang menolak untuk berkarir dalam bidang yang mereka sukai karena secara tradisionil ianya akan dipandang mempunyai status yang lebih rendah atau bergaji kecil. Disisi lain, ada juga yang tidak memilih laluan karir tertentu karena bias jenis kelamin. Sebagai contoh, terdapat permintaan untuk perawat laki-laki, tapi pada umumnya, kaum lelaki kurang memilih karir ini sebab mempunyai resiko untuk dikritik.Kebanyakan tantangan-tantangan tersebut bisa diatasi secara individu melalui bimbingan karir. Membangun keyakinan dan kemampuan diri dan mengakui nilai-nilai positif sesorang adalah bidang yang bisa didiskusikan. Mempelajari minat para pelajar dan membantu dalam keterampilan membuat keputusan dan identitas diri juga akan sangat berguna.Menyuruh mereka melakukan evaluasi diri dengan cara mengidentifikasi minat, keterampilan, kemampuan dan nilai-nilai serta kemudian menyelaraskan dengan tujuan karir juga akan membantu mereka dalam membuat keputusan karir mereka berbanding jika hanya bergantung pada keputusan atau saran-saran orang tua atau teman-teman.Dalam mempersiapkan karir, para pelajar dihadapkan dengan banyak tantangan. Ia sudah menjadi tanggungjawab para pembimbing karir untuk mengetahui hal ini dan dalam menanggapinya, mengembangkan dan menyampaikan program-program yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.Tantangan-tantangan karir dari pandangan mahasiswaBerikut adalah beberapa pandangan para pelajar tentang tantangan-tantangan karir yang mereka hadapi. Ini semua dikumpulkan melalui studi eksplorasi yang hasilnya telah dirilis oleh the Jamaica Observer pada 10 Desember 2006.1. Pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan pengalaman 3 - 5 tahun. Para mahasiswa yang begitu tamat terus melanjutkan ke program pasca sarjana juga mempunyai pandangan yang sama.2. Mencari kerja sampingan sambil kuliah (part-time & summer empoyment). Kesempatan ini penting tidak hanya untuk menyediakan dana keperluan umum tetapi juga memberikan pengalaman kerja yang dibutuhkan. Ini juga menyediakan pengetahuan tentang dunia pekerjaan. Yang utama, kesempatan ini akan meningkatkan kepercayaan diri dan membantu mengembangkan skills dan competencies.3. Pembiayaan pendidikan. Walaupun banyak yang mendapat pinjaman pendidikan, masih banyak juga yang sukar untuk mendapatkan penjamin (guarantors). Tantangan yang lain adalah pembiayaan penjagaan (maintenance) yang meliputi akomodasi, transportasi, makan-minum dan buku-buku.4. Kurangnya pengetahuan tentang apa yang diharapkan oleh Employers. Para mahasiswa (sebagai prospective employees) tidak mengetahui ini-kecuali 3-5 tahun pengalaman kerja. Akibatnya, mereka takut tidak tahu bagaimana berfungsi secara efektif dalam pekerjaan walaupun memiliki kualifikasi akademik yang dibutuhkan.5. Kurangnya pengalaman praktek dalam bidang pengkhususan. Para mahasiswa percaya mereka tidak mempunyai pengalaman praktek (hands-on experience) yang mencukupi berhubung dengan program studi mereka. Oleh sebab itu, mereka lebih suka melakukan program-program yang sifatnya praktikal (structured work-study, internships, service learning).6. Mendapatkan pembimbing/pembina karir (mentor, counsellor). Mahasiswa sangat sulit mendapatkan seseorang untuk membimbing dan membantu mengembangkan laluan karir mereka sehingga bisa mencapainya. Akibatnya, ada yang melanjutkan program yang tidak sesuai dengan minat dan harus tukar program hingga memperpanjang program studi.7. Penawaran program yang terbatas. Terbatasnya penawaran program studi dan pasaran pekerjaan menghambat mahasiswa untuk mendapatkan kerja dan melanjutkan karir dalam area studi mereka. Untuk lulusan setingkat perguruan tinggi, banyak posisi yang diterima di bawah level poin masuk.8. Pembayaran kembali pinjaman pelajar. Mendapatkan pekerjaan yang bisa memfasilitasi untuk pembayaran kembali pinjaman merupakan tantangan yang mereka hadapi setelah tamat kuliah. Hutang-hutang yang lain ketika mereka kuliah dan gaji yang tidak mencukupi juga merupakan isu yang harus ditangani.9. Afiliasi agama. Afiliasi agama dan lokasi geografi mahasiswa juga merupakan tantangan yang harus dihadapi.10. Penguasaan teknologi canggih. Di tempat kerja, ini juga dilihat sebagai hambatan bagi mahasiswa yang akan memasuki dunia kerja.11. Pembatasan izin masuk (visa). Ini juga merupakan satu tantangan bagi para mahasiswa. Para pencari kerja yang prospektif mempunyai keinginan untuk mendapatkan kesempatan bekerja di tingkat regional maupun internasional. Akan tetapi untuk melakukan hal tersebut tidak muda disebabkan oleh pembatasan-pembatasan izin masuk tertentu.

Mahasiswa sebagai sparring partner dalam kampanye kampus

Pemerintah pada Pemilu 2004 memperbolehkan partai politik (parpol) berkampanye di kampus. Hal ini memancing reaksi dari kalangan civitas akademika. Menurut Malik Fajar, model kampanye kampus tidak sama dengan model kampanye pengerahan massa. Kampanye di kampus akan lebih mengedepankan ciri akademis dengan cara dialogis. Suatu model kampanye yang "akan bermanfaat bagi pendidikan politik para mahasiswa" (Republika 26/2/2003). Parpol di perbolehkan kampanye sesuai mekanisme kampanye yang ditetapkan oleh masing masing kampus. Hampir setiap kampus, mayoritas kalangan aktifis mahasiswa menolak kehadiran parpol untuk berkampanye. Setidaknya kalangan mahasiswa melihat dan mempunyai beberapa alasan mendasar atas penolakan mereka terhadap kampanye di kampus. Pertama, adanya alasan pinsipil dan perbedaan diametral antara dunia politik dan dunia pendidikan. Kalangan pendidikan membangun bangsa dalam jangka panjang, secara terarah dan berkesinambungan. Untuk itu tiap lembaga pendidikan, dalam hal ini kampus, telah mempunyai blue print arah kebijakan dan tujuan pendidikan. Sementara partai politik lebih mementingkan kepentingan jangka pendek. Kalau toh dalam AD/ART dan janji parpol tersebut mengemukakan hal hal yang bersifat idealita, itu berubah seratus delapan puluh derajat manakala mereka telah mendapatkan "kursi" di carinya, dan inilah fakta yang ada selama ini. Kepentingan jangka pendek inilah yang membedakan parpol dengan kampus/lembaga pendidikan. Kedua, kekhawatiran politisasi kampus oleh pihak pihak tertentu. Dengan diperbolehkannya kampus dipakai sebagai ajang kampanye parpol, aktifis mahasiswa menduga adanya kepentingan dan konsesi tertentu dan juga kemudahan akses bagi kampus dalam melakukan sesuatu terutama dengan bila bekerjasama dengan parpol pemenang terutama yang di prediksikan pemenang pemilu. Ketiga, realitas lapangan menunjukkan bahwa kinerja "wakil rakyat" belum memuaskan (untuk tidak mengatakan: mengecewakan!). Tingkah laku elit politik yang tak mencerminkan kondisi rakyat kecil dan tidak adanya sense of crisis. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa anggota legislative adalah wakil parpol yang tidak mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat kecil tetapi lebih mementingkan kepentingan golongan dan parpolnya. Di saat rakyat tercekik oleh kebutuhan ekonomi, politisi di beberapa DPRD seperti Boyolali, Sukoharjo dan Sragen meminta dana purnabhakti 25-35 Juta atas perjuangan mereka di legislatif. Alasan kampanye di kampus merupakan pendidikan politik mungkin ada benarnya. Selama ini pendidikan pilitik tak pernah ada dalam perkuliahan kecuali fakultas sosial politik. Dengan demikian mahasiswa akan melek politik. Dan lagi pula kampanye tersebut parpol 'diharapkan" tidak membawa massa. Kampanye dalam bentuk diskusi dialogis, tiap jurkam memaparkan program parpolnya, calon presidennya dan menyampaikan janji-janjinya. Dengan demikian, agar terjadi keseimbangan atau balance dalam kampanye kampus, menurut penulis perlu beberapa tawaran alternatif. Pertama, karena yang maju dalam kampanye adalah tiap jurkam dengan segala program parpol dan hal positif lainnya, maka pihak aktifis mahasiswa dan akademisi kampus perlu memposisikan diri sebagai subyek kritis. Jurkam harus siap "dikuliti" porgram parpolnya -yang sering kali berbentuk konsep ideal-- dengan realita yang terjadi di lapangan, dengan kondisi utusannya yang menjadi wakil rakyat. Artinya akademisi dan aktifis kampus adalah subyek dan bukan obyek, bersikap positif dan lebih bijak terhadap parpol tetapi juga tidak meninggalkan sikap kritis yang menjadi tradisi keilmuan kampus. Pemilihan umum adalah wahana penyaluran aspirasi secara demokratis. Pemilih merupakan subyek yang bebas menentukan hak pilihnya sesuai dengan aspirasinya, atau tidak memilih sama sekali dan aktif mengcounter parpol bila memang parpol di anggap membodohi kampus dan rakyat. Kondisi ini memungkinkan titik temu antara parpol, rektorat dan aktifis mahasiswa. Wal hasil, kampus perlu aktif menjadi "sparring partner" parpol dalam memberi arah dan mengkontruksi sejarah masa depan bangsa. Upaya ini bisa dengan kerja sama melalui simbiosis mutualisme antara kampus dan parpol, dengan tetap kritis tentunya. Bisa juga sparring partner ini dalam bentuk sikap oposisi kampanye. Bila parpol dengan janji janjinya, kampus dengan penilaian kritis. Dan jika perlu aktifis kampus mengkampanyekan golongan putih (golput) sebagai salah satu pilihan masyarakat, dan sebagai sikap ketidak puasan dan kritis yang demokratis atas janji saat kampanye dan kenyataan yang ada pada parpol ketika telah memperoleh kursi. Dengan adanya giolput parpol mengetahui seberapa besar kepercayaan pemilih. Dan memungkinkan pengukuran secara nominal seberapa besar golput pada berbagai macam pemilu yang akan ada.

PENDIDIKAN BERWAWASAN GLOBAL

Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, yaitu dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa agar memungkinkan para anak didik dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasasn, kebersamaan dan tanggung jawab. Selain itu, pendidikan harus dapat menghasilkan lulusan yang bisa memahami, masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan di dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global adalah informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita dapat memahami hubungan terhadap masyarakat lain, dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Csikszentmihalyi yang dalam bukunya berjudul the Evolving Self : Apsychology for the Third Milllenium, 1993. Beliau menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex and interdependent word".A. Perfektif ReformasiPendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersdiapkan anak didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat kompetitif dan dengan derajat saling menggantungkan antar bangsa yang sangat tinggi. Pendidikan harus mengkhaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Dengan demikian, sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat tersebut harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perfektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, tetapi juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata-mata di tata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Tetapi pendidikan juga di atur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatu dengan rinci.Selain itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistematik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif demokratis. Bersifat sistemik-organik artinya bahwa sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak bisa dilihat sebagai-hitam putih, tetapi setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.Fleksibel-adaptif, artinya bahwa pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching. Anak didik dirangsang untuk memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, anak didik tidak akan dipaksa untuk dipelajari. Sedangkan materi yang dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-sistem environment. Pada pendidikan tersebut karakteristik individu mendapat tempat yang layak.Kreatif demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan suatu yang baru dan orisinil. Secara paedagogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser kearah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global berarti menuntut kebijakan pendidikan tidak semata-mata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.B. Perspektif KurikulerPendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan pada dua perspektif yaitu perspektif reformasi dan perspektif kurikuler. Berdasarkan persperktif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan professional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan
Mempelajari barbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat,dan
Mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.
Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pada pembahasan materi yang meliputi:
Adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia
Adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu
Adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat
Adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia itu memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam wujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang
Untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil dapat menimbulkan konflik-konflik.
Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain. Berdasarkan perspektif kurikuler ini, pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi kearah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidisipliner, interdisipliner dan transdisipliner.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik. Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif. Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah. Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik. Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik. Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama. Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik. Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang. 2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan. 3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial. 4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat. 5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya. Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Pendidikan Nasional Perlu Sentuhan Kreativitas

Jumlah penganggur berlipat jumlahnya. Tak ayal, selama dua hari berturut-turut (31/11/2008 dan 1/12/2008), Kompas mewartakan betapa mencemaskannya kondisi sektor riil. PHK terpaksa dilakukan, sektor informal pun terkena getahnya.
Dengan kondisi yang tidak stabil, kepastian akan jumlah penduduk yang makin banyak, urbanisasi meningkat, dan pada akhirnya kota menjadi incaran kaum marjinal mencari pekerjaan merupakan efek domino dari rentan atau fluktuatifnya dunia usaha kita.
Tingkat kriminalitas yang kian meningkat, penyimpangan sosial banyak terjadi, dan kehidupan sosial terpenjara dengan rasa curiga dan tak percaya tinggi tinggi. Interaksi antar warga menurunkan aspek penghargaan sosial yang mumpuni antar sesama.
Dunia berubah. Indonesia yang ramah hanya berbayang di masa lalu. Modernitas begitu menyakitkan. "Pasar domestik" (sektor informal) diamuk satpol PP. Gerobak dagang diangkut. Pedagang hanya memasrah. Pemodal kecil dengan sendirinya akan tergusur. Tidak ada proteksi bahkan penghargaan bagi mereka yang sudah melakukan terobosan kreatif.
Di tengah pengangguran yang mengancam, sudah selayaknya pemerintah berterima kasih kepada warga negara yang lebih banyak meminjam modalnya dari rentenir daripada bank yang lebih percaya pada pengusaha bermodal besar. Singkat kata, memberdayakan warga yang marjinal bagai mimpi sebagaimana iklan politik di televisi. Iklan politik selebihnya tak beda jauh dengan kualitas sinetron yang lebih banyak mengumbar mimpi.
Evaluasi dunia pendidikan
Menganggur bukan hanya milik orang kecil. Namun juga itu berlaku bagi orang-orang yang bermental kecil. Orang-orang yang bermental kecil merasa cukup puas dengan apa yang terberikan. Fakta itu banyak berlaku di dunia persekolahan dan perguruan tinggi. Menurut HAR Tilaar, berdasarkan pendataan tahun 2007 jumlah diploma dan sarjana yang menganggur mencapai 740.000 orang (Kompas, 16/02/2008).
Sering kali proses belajar tidak menantang siswa untuk melakukan terobosan dalam ruang interaksi sosial yang nyata. Di sebuah hipermarket atau toko-toko besar, kita banyak melihat banyak siswa SMK melakukan magang atau PKL. Di luar sekolah kejuruan, banyak siswa yang tersesat, tak bisa melanjutkan kuliah atas alasan minimnya dana.
Perguruan tinggi negeri (PTN) yang infrastrukturnya dibangun dari pajak rakyat pun tak bisa berkutik. Alokasi pembiayaan yang semakin kecil dari pemerintah saja sudah membuat dosen hilir mudik mencari proyek-proyek penelitian dengan konsekuensi logis, meninggalkan lebih banyak waktu mengajarnya. Padahal riset yang dilakukan pun hanya berbatas pada kepentingan "perut" bukan lagi pada misi idealisme tridharma perguruan tinggi.
Sungguh kompleks memang. Namun pengangguran yang semakin berbilang jumlahnya dan mengurita dimana-mana acapkali menimbulkan ekses yang merugikan banyak pihak. Untuk itu, portofolio dunia persekolahan dan perguruan tinggi yang semakin runyam perlu dievaluasi.
Fungsi kreativitas dan imajinasi siswa harus lebih dikedepankan, sehingga standar kelulusan bukan lagi ditentukan dari ranah kognitif lagi. Ujian nasional (UN) jelas bertolak belakang dari keinginan negara mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di Amerika, tidak ada hubungan nilai rata-rata siswa sekolah dasar dan menengah dengan berjubelnya pemenang nobel yang berasal dari negeri Paman Sam itu. Bahkan kalau mau diukur, prestasi pendidikan dasar dan menengah di Indonesia lebih baik dibanding Amerika.
'Kemenangan' dunia pendidikan dasar dan menengah di Amerika karena lebih mengedepankan aspek kreativitas dan imajinasi siswa. Kebebasan gaya belajar siswa yang liberatif memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi keunggulan dirinya.
Tentu saja, kita tak pantas berbangga-ria, ketika anak-anak Indonesia sudah unggul di berbagai kompetisi setara olimpiade. Kemenangan itu baru sebatas teori, belum sampai pada tahap tindakan penemuan. Tentu saja, prasayarat dana, fasilitas riset (laboratorium), perpustakaan, dan infrastruktur pendukung lainnya harus tersedia, sehingga kemenangan akan terasa lebih nyata. Namun data menunjukkan bahwa di tingkatan SMP, sebanyak 34,3 persen sekolah belum mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen tidak memiliki laboratorium (Kompas, 2/12/2008).
Di perguruan tinggi, tak semua produk inovatif dapat dikomersialisasikan. Parker dan Mainelli (2001) mencatat bahwa dari 100 ide penelitian di perguruan tinggi Amerika hanya 10 yang kemudian direalisasikan dalam proyek penelitian. Dari ke-sepuluh proyek ini hanya dua yang dinilai memiliki potensi komersial dan hanya satu dari keduanya yang kemudian benar-benar menguntungkan. Simpulannya jelas, pengembangan inovasi hasil kreativitas dan imajinasi dapat menjadi basis pengembangan dana. Pekerjaan berat memang, karena selama 22 tahun (1985-2007) penetapan hak atas kekayaan intelektual di seluruh perguruan tinggi di Indonesia hanya 419 (Kompas, 18/11/2008).
Pentingnya kreativitas
Wabah kemalasan menjalar kemana-mana. Banyak orang lebih suka kenyamanan. Lebih baik kehilangan tantangan daripada kehilangan pekerjaan. Banyak sekolah dibuat sekadarnya. Banyak pahlawan tanpa tanda jasa yang puluhan tahun mengajar diberi penghargaan atas alasan kasihan, bukan profesionalitas mereka. Kompleks!
Guru bantu atau honorer, apapun namanya, sudah seperti pekerja sosial yang dipaksa mengajar profesional dengan gaji ala kadarnya atau dibayar gabah. Misi mulia mereka dianggap amal atau sekadar solidaritas sosial. Faktanya lagi, 63 persen guru TK-SMA di Indonesia belum sarjana (Kompas, 12/04/2008). Sebaliknya, Ki Supriyoko mencibir banyak remaja putri kota atau bahkan desa ingin menjadi guru TK bukan atas alasan mencintai profesi guru TK melainkan karena sulitnya mencari pekerjaan (Republika, 18/11/2008). Ironis!
Selanjutnya, pemerintah sudah saatnya menjaga garda terdepan Republik ini dengan pendidikan sebagai senjata utamanya. Berbagai penemuan kreatif yang terjadi dengan proses evolusi pendidikan akan membalikkan kondisi Indonesia menjadi lebih terhormat di hadapan bangsa lain. Belum terlambat dan selalu ada waktu bagi siapapun yang mau berpikir bersama kompleksitasnya.
Kalau kompleksitas itu adalah tantangannya, maka kreativitas berpikir adalah pijakan tepat mengantar nuansa pendidikan menjadi lebih menyenangkan. Masalah selalu diinginkan untuk menantang pikiran. Mengasah pikiran menjadi lebih peka terhadap permasalahan dan alternatif jawaban. Pada tahun 1970-an, D.W. MacKinnon, seorang profesor psikologi melakukan riset kreativitas di Universitas California di Berkeley. Hasil tes menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki kreativitas tinggi, tingkat kecerdasannya tidaklah berbeda dari rekan-rekan mereka yang mempunyai kreativitas lebih rendah, tetapi mereka mengambil lebih banyak waktu untuk mempelajari masalah dan lebih lama "bermain dengan mereka."
Pertanyaannya, mengapa bangsa ini terus mundur ke belakang? Karena selama ini, permasalahan dianggap neraka, sementara kenyamanan bagai surga. Berlomba-lombalah siswa mencari bimbel untuk tahu bagaimana mengisi soal ujian dengan mudah, tanpa lelah berpikir, dan tanpa harus bersusah payah. Padahal kalau ditelisik lebih jauh lagi, maka surga dikelilingi sesuatu yang tidak menyenangkan, sementara neraka selalu dikelilingi dengan segala yang menyenangkan. Sering kali belajar itu tak menyenangkan sebagaimana kata bijak "belajar itu akarnya pahit, buahnya manis."
"Bermain" dengan masalah adalah bagian hidup dari pemikir kreatif yang konsisten bergulat dengan masalah. Mereka menikmati permainan tidak hanya sehari-dua hari, namun bertahun-tahun, belasan, sampai puluhan tahun. Sampai pada suatu titik perjalanan, apa yang mereka temukan dan hasilkan tidak hanya memenangkan diri sendiri, namun juga peradaban umat manusia secara keseluruhan dan kedigdayaan sebuah bangsa dimana ia berasal.
Edison dengan penemuan lampunya, Bill Gates dengan komputer personalnya, James Watt dengan mesin uapnya, dan masih banyak tokoh lainnya yang dapat menjadi inspirasi betapa pentingnya harga sebuah kreativitas yang dapat mengangkat martabat bangsa. Itu bisa terjadi di Indonesia, kalau sistem pendidikan nasional mau lebih menekankan proses berpikir kreatif di dalamnya.

Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.
Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).
Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.
”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.
Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.
Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.
Tumbuh dari masyarakat
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.
Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.
Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.
Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.
Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.
”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.
Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.
Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)
sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/11/0313428/pendidikan.layanan.khusus.kesulitan.guru

Sumber : SINDOJAKARTA (SI) – Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik. (rendra hanggara)sumber:http://www.bawean.net/2009/04/tiga-juta-anak-butuh-pendidikan-khusus.html

BANYAK yang berkomentar bahwa sistem pembelajaran mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Sebagian menganggap lebih rumit. Karena output- nya adalah perbaikan dan peningkatan ibadah, akhlak dan pengetahuan siswa terhadap pengetahuan ke-Islaman.Kendati begitu, jika hanya mengandalkan jumlah jam pertemuan di kelas, sangat mustahil mampu mewujudkan hasil pembelajaran yang baik. Walau bagaimanapun, mata pelajaran PAI merupakan penyeimbang mata pelajaran lain dalam rangka membentuk karakter anak didik. Terutama untuk memberikan pengaruh positif bagi anak didik dalam beramal sholih, berakhlak mulia dan bersopan santun sesuai dengan ajaran Islam.Namun permasalahannya, apakah cita-cita agung itu bisa diraih dengan hanya memberikan 2 jam pelajaran di setiap pekan ? Untuk menjawabnya, sebaiknya kita melihat kembali bagaimana karakter seseorang itu bisa dibentuk. Rasulullah SAW menggambarkan seorang anak bagaikan secarik kertas yang bersih tanpa tulisan apapun. Orangtuanya lah yang akan menentukan, apakah ketika anak dewasa itu menjadi yahudi atau majusi. Bahkan menjadi pribadi muslim yang sempurna atau tidak.Bukti teori pendidikan sudah digulirkan oleh Rasulullah SAW, jauh sebelum para ahli pendidikan berbicara masalah pendidikan anak. Dalam hal ini, penulis memahami bahwa yang dimaksud dengan orang tua di sini mempunyai 3 aspek. Orangtua yang melahirkan dan merawat si anak dalam hal ini ayah dan ibu; orang tua yang memberikan pengajaran di lingkungan sekolah, yakni para guru dan ustadz; serta orang lain yang dianggap oleh anak sebagai contoh atau panutan di masyarakat atau dunia pergaulannya.Sebenarnya, jika melihat realitas saat ini, sekolah belum melengkapi kebutuhan si anak didik. Terutama dalam rangka memberikan pembelajaran tentang karakter atau pribadi muslim yang sempurna. Apalagi hanya 2 jam pelajaran yang diberikan, tentu sangat kurang. Apalagi jika ada kendala teknis seperti mutu guru PAI yang kurang profesional dan cara penyampaian yang kurang efektif. Bisa dibilang, pembelajaran PAI dengan 2 jam pelajaran tidak ada pengaruhnya ke anak didik.Karena itu, sekolah bisa menyiasati permasalahan ini dengan membuat sebuah sistem PAI terpadu. Yakni, guru me-manage pola asuh anak didik dengan sebaik-baiknya. Guru ikut memantau anak didik, tidak hanya di sekolah, tetapi di rumah dan di masyarakat. Aplikasi dari konsep ini, ketika guru ingin melihat bagaimana kebiasaan anak didik saat pagi hari. Begitu selesai salat subuh, guru bisa menelpon anak didik untuk dicek. Tidak perlu setiap hari. Jika perlu, jadikan program pekanan dengan agenda menelpon 5-8 anak setiap pekan. Sedangkan bentuk pemantauan di masyarakat, dengan membuka komunikasi pada orang tua anak didik. Dengan begitu, guru bisa mengetahui kebiasaan dan teman-teman bermain anak didik ketika di rumah.
Setelah mencoba memberikan perhatian ke anak didik, konsep keterpaduan selanjutnya adalah seorang guru harus mampu memberikan tampilan pembelajaran yang terbaik. Bukan hanya sebatas tampilan ketika di depan kelas, tetapi guru harus lihai menyusun materi pembelajaran yang aplikatif. Dalam hal ini seorang guru harus memahami bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Allah SWT. Tidak ada dikotomi mata palajaran. Kalau perlu pada saat pelajaran PAI, guru harus mengembangkan ke ranah pelajaran umum, seperti halnya jika menjelaskan tafsir Surat Al-Mukminuun ayat ke 12-14 tentang bagaimana Allah menciptakan manusia.Artinya guru PAI memang harus mampu mengembangkan atau minimal mengetahui bagaimana teori janin yang ada di kandungan, yang ada di ilmu kesehatan (biologi). Jika model pembelajaran seperti ini dapat dilaksanakan dengan sentuhan-sentuhan kreativitas pembelajaran. Hasilnya, anak didik akan mendapatkan masukan ilmu yang komprehensif dan terpadu antara ilmu agama (dalil Al-Quran) dan ilmu biologi (janin manusia).Selanjutnya, keterpaduan yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah sebuah kesamaan visi yang didukung oleh lembaga pendidikan dalam hal ini struktur sekolah dan setiap guru yang mengajar di lingkungan sekolah. Semua penyelenggara pendidikan harus mempunyai kesamaan tujuan dan cita-cita untuk memberikan pendidikan yang sempurna untuk anak didiknya. Kesempurnaan ini bisa dituangkan dalam program-program pendidikan yang merangsang perkembangan fikriyyah (pola pikir anak didik), ruhiyyah (kecerdasan spiritual) dan jasadiyyah (perkembangan fisik anak didik).
Syarat mutlak mewujudkan ke-terpaduan pendidikan ini adalah adanya lingkungan pendidikan yang kondusif. Setiap guru mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Walau bagaimanapun, anak didik akan sulit bersikap jujur (shiddiq), jika setiap hari melihat dan mendengar ber-bagai kebohongan yang ada di sekitarnya.Demikian wacana konsep keterpaduan yang penulis tawarkan, semoga bisa menjadi referensi bagi aktivis pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik di negeri ini. Khususnya bagi para guru PAI, yang mempunyai tanggungjawab besar untuk memberikan panduan beragama Islam yang benar kepada anak didiknya. Wallahu a’lamu bi showab.
(*/ida)sumber:http://www.radarsemarang.com/community/artikel-untukmu-guruku/432-perlu-keterpaduan-dalam-pendidikan-agama-islam-.html
Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta. “Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin. Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya. Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak. Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional. Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak. Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta. “Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin. Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya. Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak. Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional. Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak. Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)
window.google_render_ad();
Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius
Senin, 2 Juni 2008 13:44:43 - oleh : admin

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)