Selasa, 28 April 2009


Gemerlap Surabaya sebagai kota metropolitan beserta aneka fasilitasnya ternyata tidak menjamin akses pendidikan merata. Indikasinya, jumlah anak putus sekolah di Kota Pahlawan ini masih cukup tinggi. Yang ironis, kondisi itu terjadi di hampir seluruh jenjang pendidikan.Angka terbanyak usia putus sekolah berada pada umur 7-12 tahun atau usia siswa SD. Yang berikutnya, usia 16-18 tahun atau tingkat SMA. Jumlah anak putus sekolah paling sedikit berada di kisaran usia 13-15 tahun atau jenjang SMP.Melihat kondisi tersebut, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono menginstruksi Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya untuk memprioritaskan pengentasan anak putus sekolah tersebut. Dispendik pun meminta unit pelaksana teknis dinas (UPTD) mereka di kecamatan untuk jemput bola dan pengurus RT/RW untuk menangani anak putus sekolah.Demi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun, pemkot memilih menyekolahkan kembali anak putus sekolah di jenjang SD dan SMP. Itu terlihat dari alokasi anggaran Dispendik Rp 37,6 miliar untuk program tersebut, sebanyak Rp 33,8 miliar untuk pengentasan anak putus sekolah jenjang SMP, sedangkan sisanya untuk jenjang SD. Saat ini, mereka sedang didata untuk selanjutnya dimasukkan ke sekolah-sekolah negeri. Lalu, yang telah bekerja akan diikutkan program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A (7-12 tahun) dan B (13-15 tahun). (Metropolis, 21/7/2008).Sejak 1990-an, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga menyediakan pendidikan alternatif untuk mereka yang kurang beruntung tersebut. Namanya, pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan itu ditujukan untuk menunjang penuntasan wajar dikdas sembilan tahun serta memperluas akses pendidikan menengah yang menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional.Pendidikan kesetaraan menjadi salah satu program pada jalur pendidikan nonformal yang mengadakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA melalui program Paket A, Paket B, dan Paket C. Di lapangan, program tersebut sering mengombinasikan pendidikan aksara dan pembekalan keterampilan. Untuk Paket A, pesertanya dibekali keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Paket B bertujuan memberikan bekal keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja.Adapun keterampilan untuk berwiraswasta diberikan untuk peserta program Paket C. Pendidikan kesetaraan itu bisa diselenggarakan oleh semua satuan pendidikan nonformal. Misalnya, lembaga pelatihan, kursus, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), majelis taklim, dan lain-lain.Dalam dua tahun terakhir, pendidikan kesetaraan naik daun. Itu seiring kebijakan Depdiknas yang memberikan kesempatan kepada siswa SD hingga SMA sederajat yang tidak lulus ujian nasional (unas) untuk mengikuti UNPK yang diadakan dua kali dalam setahun. Dengan mengikuti UNPK Paket A, B, dan C, mereka dapat memiliki ijazah setara sekolah formal SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang bisa digunakan untuk mendaftar di sekolah formal dan perguruan tinggi serta mencari pekerjaan. Pendidikan kesetaraan pun tak lagi dianggap kelas dua.Status lulusan pendidikan kesetaraan memang telah dijamin sama dengan lulusan pendidikan formal. Surat Edaran (SE) Mendiknas No 107/MPN/MS/2006 tentang Program Kesetaraan menjadi garansinya. Dalam SE tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang lulus ujian kesetaraan Paket A, Paket B, atau Paket C memiliki hak eligibilitas yang sama dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi.Garansi dari Mendiknas itu terbukti manjur. Di Jawa Timur, cukup banyak lulusan pendidikan kesetaraan Paket C yang mulus melanjutkan studinya ke perguruan tinggi negeri maupun swasta. Bahkan, di Surabaya, ada seorang lulusan Paket C yang diterima bekerja dan memegang jabatan penting sekelas manajer operasional di sebuah minimarket.Bisa dibayangkan seperti apa nasib mereka yang tak mampu mengakses pendidikan formal jika tidak ada pendidikan kesetaraan. Mereka akan terpuruk selamanya dalam kebodohan dan keterbelakangan. Pendidikan kesetaraan telah menjadi lentera dalam kegelapan bagi mereka. Jadi, putus sekolah bukan kiamat.
sumber: http://www.info-edukasi.com/portal/umum/putus_sekolah_bukan_kiamat.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar