Rabu, 22 April 2009


BANYAK yang berkomentar bahwa sistem pembelajaran mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Sebagian menganggap lebih rumit. Karena output- nya adalah perbaikan dan peningkatan ibadah, akhlak dan pengetahuan siswa terhadap pengetahuan ke-Islaman.Kendati begitu, jika hanya mengandalkan jumlah jam pertemuan di kelas, sangat mustahil mampu mewujudkan hasil pembelajaran yang baik. Walau bagaimanapun, mata pelajaran PAI merupakan penyeimbang mata pelajaran lain dalam rangka membentuk karakter anak didik. Terutama untuk memberikan pengaruh positif bagi anak didik dalam beramal sholih, berakhlak mulia dan bersopan santun sesuai dengan ajaran Islam.Namun permasalahannya, apakah cita-cita agung itu bisa diraih dengan hanya memberikan 2 jam pelajaran di setiap pekan ? Untuk menjawabnya, sebaiknya kita melihat kembali bagaimana karakter seseorang itu bisa dibentuk. Rasulullah SAW menggambarkan seorang anak bagaikan secarik kertas yang bersih tanpa tulisan apapun. Orangtuanya lah yang akan menentukan, apakah ketika anak dewasa itu menjadi yahudi atau majusi. Bahkan menjadi pribadi muslim yang sempurna atau tidak.Bukti teori pendidikan sudah digulirkan oleh Rasulullah SAW, jauh sebelum para ahli pendidikan berbicara masalah pendidikan anak. Dalam hal ini, penulis memahami bahwa yang dimaksud dengan orang tua di sini mempunyai 3 aspek. Orangtua yang melahirkan dan merawat si anak dalam hal ini ayah dan ibu; orang tua yang memberikan pengajaran di lingkungan sekolah, yakni para guru dan ustadz; serta orang lain yang dianggap oleh anak sebagai contoh atau panutan di masyarakat atau dunia pergaulannya.Sebenarnya, jika melihat realitas saat ini, sekolah belum melengkapi kebutuhan si anak didik. Terutama dalam rangka memberikan pembelajaran tentang karakter atau pribadi muslim yang sempurna. Apalagi hanya 2 jam pelajaran yang diberikan, tentu sangat kurang. Apalagi jika ada kendala teknis seperti mutu guru PAI yang kurang profesional dan cara penyampaian yang kurang efektif. Bisa dibilang, pembelajaran PAI dengan 2 jam pelajaran tidak ada pengaruhnya ke anak didik.Karena itu, sekolah bisa menyiasati permasalahan ini dengan membuat sebuah sistem PAI terpadu. Yakni, guru me-manage pola asuh anak didik dengan sebaik-baiknya. Guru ikut memantau anak didik, tidak hanya di sekolah, tetapi di rumah dan di masyarakat. Aplikasi dari konsep ini, ketika guru ingin melihat bagaimana kebiasaan anak didik saat pagi hari. Begitu selesai salat subuh, guru bisa menelpon anak didik untuk dicek. Tidak perlu setiap hari. Jika perlu, jadikan program pekanan dengan agenda menelpon 5-8 anak setiap pekan. Sedangkan bentuk pemantauan di masyarakat, dengan membuka komunikasi pada orang tua anak didik. Dengan begitu, guru bisa mengetahui kebiasaan dan teman-teman bermain anak didik ketika di rumah.
Setelah mencoba memberikan perhatian ke anak didik, konsep keterpaduan selanjutnya adalah seorang guru harus mampu memberikan tampilan pembelajaran yang terbaik. Bukan hanya sebatas tampilan ketika di depan kelas, tetapi guru harus lihai menyusun materi pembelajaran yang aplikatif. Dalam hal ini seorang guru harus memahami bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Allah SWT. Tidak ada dikotomi mata palajaran. Kalau perlu pada saat pelajaran PAI, guru harus mengembangkan ke ranah pelajaran umum, seperti halnya jika menjelaskan tafsir Surat Al-Mukminuun ayat ke 12-14 tentang bagaimana Allah menciptakan manusia.Artinya guru PAI memang harus mampu mengembangkan atau minimal mengetahui bagaimana teori janin yang ada di kandungan, yang ada di ilmu kesehatan (biologi). Jika model pembelajaran seperti ini dapat dilaksanakan dengan sentuhan-sentuhan kreativitas pembelajaran. Hasilnya, anak didik akan mendapatkan masukan ilmu yang komprehensif dan terpadu antara ilmu agama (dalil Al-Quran) dan ilmu biologi (janin manusia).Selanjutnya, keterpaduan yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah sebuah kesamaan visi yang didukung oleh lembaga pendidikan dalam hal ini struktur sekolah dan setiap guru yang mengajar di lingkungan sekolah. Semua penyelenggara pendidikan harus mempunyai kesamaan tujuan dan cita-cita untuk memberikan pendidikan yang sempurna untuk anak didiknya. Kesempurnaan ini bisa dituangkan dalam program-program pendidikan yang merangsang perkembangan fikriyyah (pola pikir anak didik), ruhiyyah (kecerdasan spiritual) dan jasadiyyah (perkembangan fisik anak didik).
Syarat mutlak mewujudkan ke-terpaduan pendidikan ini adalah adanya lingkungan pendidikan yang kondusif. Setiap guru mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Walau bagaimanapun, anak didik akan sulit bersikap jujur (shiddiq), jika setiap hari melihat dan mendengar ber-bagai kebohongan yang ada di sekitarnya.Demikian wacana konsep keterpaduan yang penulis tawarkan, semoga bisa menjadi referensi bagi aktivis pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik di negeri ini. Khususnya bagi para guru PAI, yang mempunyai tanggungjawab besar untuk memberikan panduan beragama Islam yang benar kepada anak didiknya. Wallahu a’lamu bi showab.
(*/ida)sumber:http://www.radarsemarang.com/community/artikel-untukmu-guruku/432-perlu-keterpaduan-dalam-pendidikan-agama-islam-.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar